Penolakan UU Ciptaker, Dosen Universitas Paramadina Ungkap Strategi ‘Kambing Hitam’ Pemerintah

2 November 2020, 08:48 WIB
Unjuk rasa UU Cipta Kerja yang berakhir ricuh /Antara News

PR INDRAMAYU – Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menuai kontroversi dari berbagai pihak.

Presiden Indonesia, Jokowi, memberikan klarifikasi pada 5 Oktober 2020 lalu bahwa unjuk rasa penolakan UU tersebut dipicu oleh disinformasi dan hoaks.

Para pendemo pun menolak klarifikasi tersebut. Mereka menganggap bahwa pemerintah telah mendiskreditkan perjuangan rakyat.

Baca Juga: Tulus Tampil Prambanan Jazz Festival dari Rumah, sang Manajer Ungkap Kondisi Tubuhnya

“Tapi berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, strategi pemerintah sangat efektif dalam mengalihkan perhatian masyarakat dari demo,” tutur Dosen Universitas Paramadina, Ika Karlina Idris.

Sebelum Jokowi berbicara pada 5 Oktober tersebut, terdapat 15.189 percakapan dengan kata kunci “cipta kerja” di Indonesia. Sebagian besar isinya terkait dengan demo dan kejanggalan pada proses pengesahan UU tersebut.

Setelah 5 Oktober, kondisinya pun berubah. Sebanyak 21.971 percakapan di Facebook mayoritas terkait para pendemo yang tidak mengerti UU, serta dukungan kepada Jokowi.

Baca Juga: Sidang Perdana Kasus Cessie Bank Bali Digelar Hari Ini, Berikut 4 Nama Terdakwa

Data ini diungkap alat perekam percakapan publik yang dimiliki Facebook, CrowdTangle. Data itu merekam total jumlah Likes, Comments, Shares, Loves, Wow, Sad, Angry, Haha, dan sebagainya pada media sosial milik Mark Zuckerberg tersebut.

Hasilnya adalah sebelum klarifikasi Jokowi 5 Oktober, pihak yang kontra mencapai 80%. Setelahnya, hanya ada sebanyak 25% yang menentang UU Cipta Kerja.

Dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari The Conversation, pemerintah menggunakan teknik gaslighting atau scapegoating (pengambinghitaman) untuk menangkal pemberitaan miring terkait UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Yusril Ihza Berkata Negeri Ini Diserang 5 Kekuatan Besar? Simak Faktanya

Teknik scapegoating diungkap pakar sastra dan filsafat asal Amerika Serikat, Kenneth Burke.

Tujuan pengambinghitaman itu adalah untuk membingungkan lawan. Teknik ini merupakan satu di antara strategi menyerang lawan dengan cara mempertanyakan kredibilitas lawan tersebut.

“Kajian psikologi merujuk pelaku gaslighting memanipulasi korbannya dan lingkungan di sekitarnya agar korban percaya bahwa ia berhalusinasi dan tidak kompeten melakukan penilaian terhadap sesuatu hal,” tutur Ika Karlina Idris.

Baca Juga: 6 Fakta Menarik The Gunners Kalahkan MU, Salah Satunya Paul Pogba 3 Kali Buat MU Dihukum Penalti

Donald Trump kala menjadi Presiden Amerika Serikat dikabarkan berulang kali menggunakan teknik tersebut. Begitu pun dengan Bill Clinton.

“Teknik gaslighting ini juga digunakan untuk mempertahankan hegemoni rasial kulit putih atas kulit hitam di Amerika. Saat terjadi gerakan Black Lives Matter, misalnya, muncul juga narasi All Lives Matter yang dianggap memiliki tujuan terselubung yakni melanggengkan hegemoni kulit putih,” ujar Ika.

Sebagai bagian dari propaganda, dua komponen dasar yang menyukseskan gaslighting adalah memunculkan disinformasi dan lingkungan yang mendukungnya. Dukungan terhadap teknik ini amat membantu sehingga berjalan lebih efektif.

Baca Juga: Angkat Bicara, Presiden Prancis Macron: Saya akan Selalu Membela Kebebasan di Negara Saya

Contohnya adalah pendukung Trump di media sosial yang turut menggaungkan isu yang dilemparkan Trump. Klarifikasi Jokowi turut dibantu akun pendukungnya seperti Info Seputar Presiden, dukungan Bank Dunia, Hotman Paris, dan sebagainya.

“Selain itu, teknik ini juga berhasil karena memanfaatkan kondisi politik yang semakin terpolarisasi sejak pemilihan presiden 2019. Hal ini mengakibatkan orang-orang yang berada di kubu Jokowi akan membela narasinya habis-habisan,” tutur Ika.***

Editor: Evi Sapitri

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler