Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.
Pasukan Pangeran Diponegoro menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai markas perjuangan.
Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (istri yang paling setia menemani Pangeran Diponegoro setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Dengan komando berbasis dari Goa Selarong, Pangeran Diponegoro memulai menyusun strategi perlawanan, dan penyerangan dimulai dari Tegalrejo.
Dari sinilah Pangeran Diponegoro memimpin pasukan masyarakat Jawa untuk mengatur strategi pertempuran demi pertempuran selama lima tahun.
Pangeran Diponegoro mampu menggalang kekuatan, tak hanya pasukan relawan yang berperang di medan laga, tetapi juga mengumpulkan berbagai kebutuhan logistik perang dari kalangan petani hingga golongan priyayi.
Baca Juga: Kiai Wahab Chasbullah Dekat dengan Bung Karno Karena Alasan Ini Kata Sejarawan Santri
Mereka menyumbangkan uang, barang-barang berharga, makanan dan lainnya sebagai logistik perang. Pribahasa untuk menggambarkan semangat gotong royong ini dikenal hingga saat ini: “Sedumuk bathuk, senyari bumi ditohi tekan pati” yang artinya sejengkal kepala sejari tanah dibela sampai mati.
Besarnya semangat perlawanan rakyat membuat para pembesar istana memilih bergabung bersama Pangeran Diponegoro. Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.