Tak mau kesewenang-wenangan terus menimpa rakyat, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan, di antaranya dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Maka, semangat perlawanan Pangeran Diponegoro semakin mendidih dan bertekad untuk melkukan perlawanan terhadap Belanda dan menyatakan sikap perang.
Gerakan perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro membuat penguasa gusar dan tak bisa tidur. Sehingga, pada Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang benar-benar pecah.
Dengan penguasaan medan Tegalrejo yang baik, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berhasil lolos dari pengejaran. Namun rumah milik Pangeran Diponegoro jadi korban, dibakar dan dibumihanguskan Belnda dan pasukan istana.
Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya pun bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.
Mereka meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Baca Juga: Sunan Gunungjati Pernah Digerebek Pangeran Panjunan Putra Syekh Nurjati karena Alasan Ini