INDRAMAYUHITS – Salahsatu tokoh sejarah Indonesia yang dikenal pantang kompromi dengan para penjajah adalah Raden Mas Ontowiryo yan dikenal luas dengan nama Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III yang lahir di Kota Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785.
Nama Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena menjadi penggerak perlawanan terbesar melawan penjajah Belanda dan beberapa negara Eropa lainnya.
Puncak perlawanan panjang yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah saat meletusnya Perang Jawa atau juga dikenal dengan perang Diponegoro.
Dilansir Indramayu Hits dari website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 8 Mei 2022, perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara.
Perang bermula dari ketersinggungan Pangeran Diponegoro terhadap campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan dan penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman sejak tahun 1821 yang mengakibatkan penderitaan para petani lokal.
Baca Juga: Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya NU Ternyata Adalah Ulama Besar Keturunan Cirebon
Saat itu, Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Namun, ternyata para pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.
Tak mau kesewenang-wenangan terus menimpa rakyat, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan, di antaranya dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Maka, semangat perlawanan Pangeran Diponegoro semakin mendidih dan bertekad untuk melkukan perlawanan terhadap Belanda dan menyatakan sikap perang.
Gerakan perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro membuat penguasa gusar dan tak bisa tidur. Sehingga, pada Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang benar-benar pecah.
Dengan penguasaan medan Tegalrejo yang baik, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya berhasil lolos dari pengejaran. Namun rumah milik Pangeran Diponegoro jadi korban, dibakar dan dibumihanguskan Belnda dan pasukan istana.
Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya pun bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo.
Mereka meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Baca Juga: Sunan Gunungjati Pernah Digerebek Pangeran Panjunan Putra Syekh Nurjati karena Alasan Ini
Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.
Pasukan Pangeran Diponegoro menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai markas perjuangan.
Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (istri yang paling setia menemani Pangeran Diponegoro setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Dengan komando berbasis dari Goa Selarong, Pangeran Diponegoro memulai menyusun strategi perlawanan, dan penyerangan dimulai dari Tegalrejo.
Dari sinilah Pangeran Diponegoro memimpin pasukan masyarakat Jawa untuk mengatur strategi pertempuran demi pertempuran selama lima tahun.
Pangeran Diponegoro mampu menggalang kekuatan, tak hanya pasukan relawan yang berperang di medan laga, tetapi juga mengumpulkan berbagai kebutuhan logistik perang dari kalangan petani hingga golongan priyayi.
Baca Juga: Kiai Wahab Chasbullah Dekat dengan Bung Karno Karena Alasan Ini Kata Sejarawan Santri
Mereka menyumbangkan uang, barang-barang berharga, makanan dan lainnya sebagai logistik perang. Pribahasa untuk menggambarkan semangat gotong royong ini dikenal hingga saat ini: “Sedumuk bathuk, senyari bumi ditohi tekan pati” yang artinya sejengkal kepala sejari tanah dibela sampai mati.
Besarnya semangat perlawanan rakyat membuat para pembesar istana memilih bergabung bersama Pangeran Diponegoro. Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.
Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri di kalangan pasukan.
Tak sendirian, kepemimpinan perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang bertugas memimpin spiritual pemberontakan.
Dalam perang Jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap pasukan Pangeran Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng, sehingga terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Hingga akhirnya pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil berhasil mengepung pasukan Pangeran Diponegoro di Magelang.
Taka da pilihan, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri kepada penjajah dengan satu syarat, sisa pasukannya dilepas bebas.
Belanda menyanggupi, hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825–1830) telah menelan banyak korban jiwa dari penduduk Jawa, demikian juga di kubu pasukan Belanda bersama kroninya. ***