INDRAMAYUHITS – Penyelenggara umrah, calon jamaah dan berbagai pihak harus tahu, Pemerintah Arab Saudi segera memberlakukan kebijakan baru.
Meski kebijakan ini baru rencana, namun penting bagi semua stakeholders untuk memahami agar bisa melakukan antisipasi.
Konsul Haji KJRI Jeddah, Nasrullah Jasam mengungkapkan, rencananya pemerintah Kerajaan Arab Saudi akan memberlakukan sistem bussines to consumer (B to C) dalam penyelenggaraan umrah.
Melihat teknis operasionalnya, pihaknya sebenarnya tidak setuju penyelenggaran umrah dengan kebijakan tersebut.
Karena itu, Nasrullah berharap agar rencana kebijakan tersebut dibatalkan. Apa alasannya?
Menurut Nasrullah, dengan skema kebijakan B to C, maka ketika keberangkatan, tidak ada yang bertanggung jawab bila ada masalah yang menimpa jemaah saat berada di Arab Saudi.
“Skema B to C juga tidak sejalan dengan regulasi di Indonesia yang mengharuskan pemberangkatan jemaah umrah melalui PPIU berizin," tandas dia.
Keinginan pemerintah Indonesia yang disampaikan Nasrullah tersebut disampaiakn dalam pertemuan pejabat Kantor Urusan Haji (KUH) denagn pihak-pihak terkait sepertu lembaga, perusahaan, dan syarikah/muassasah penyelenggara di Arab Saudi.
Hadir juga, Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam, Kasubdit Pengawasan Umrah dan Haji Khusus Noer Aliya Fitra, Staf Teknis Haji Makki, dan para pengurus sembilan Syarikah/Muassasah Umrah di Saudi.
Baca Juga: SIAP-SIAP BOS Pesantren Tahap II Segera Cair, Kemenag Sedang Tuntaskan Validasi 70 Ribu Pesantren
Dalam kesempatan itu, Nasrullah mengingatkan para syarikah agar mereka memperhatikan status penyelenggaraan perjalan ibadah umrah (PPIU), berizin atau tidak.
Menurutnya, regulasi di Indonesia mengatur bahwa jemaah umrah Indonesja harus berangkat melalui PPIU atau travel yang telah memiliki izin dari Kementerian Agama (Kemenag).
"Jika ada travel yang tidak berizin memberangkatkan jemaah, maka itu adalah tindakan kriminal/pidana dan dapat dikenakan hukuman penjara. Kami meminta agar muasasah mengecek legalitas perizinan travel yang akan diajak kerjasama," ujar Nasrullah dalam rapat di Jeddah, Kamis 18 Agustus 2022.
Selain perizinan, sambung Nasrullah, Kementerian Agama juga sudah mengatur PPIU harus memiliki standar layanan minimal dalam pemberangkatan jemaah umrah.
Standar layanan tersebut terdiri dari:
- Kesesuaian paket layanan dengan perjanjian tertulis dengan jemaah
- Transportasi pesawat maksimal 1 kali transit
- Hotel di Makkah maksimal 1000 meter dari Masjidil Haram dan maksimal 700 meter dari Masjid Nabawi. "Jika lebih dari itu, harus disediakan bus shuttle untuk jemaah," tukas Nasrullah.
- Satu kamar maksimal diisi empat orang.
- Konsumsi 3 kali sehari
- Ada pelayanan kesehatan dan pengurusan jemaah sakit dan wafat
Poin-poin di atas menjadi perhatian seluruh muassasah/syarikat yang hadir.
Mereka berkomitmen untuk menjalin kerja sama yang baik dengan Kementerian Agama dalam rangka meminimalisir potensi permasalahan dalam penyelenggaraan umrah.
"Karena itu, kami minta agar muasasah atau syarikah juga berkomitmen terhadap layanan transportasi, hotel, dan konsumsi jemaah," ujar Nasrullah.
Menurutnya, saat kedatangan dan kepulangan jemaah umrah, juga harus ada petugas muasasah yang ikut menjemput/memberangkatkan mereka di Bandara, termasuk mengurus tasrih jemaah umrah untuk masuk Raudah Masjid Nabawi.
Sementara itu, Kasubdit Pengawasan Umrah dan Haji Khusus Noer Aliya Fitra (Nafit) menambahkan, setiap jamaah umrah Indonesia telah dibekali kartu identitas yang dicetak setiap PPIU.
Pihak muasasah/syarikah perlu mengecek dan memastikan setiap jemaah sudah memiliki kartu identitasnya.
Baca Juga: GAWAT! Persebaya Pincang Hadapi Borneo FC, Pemain Kunci Pengatur Serangan Tak Dibawa ke Samarinda
“Pada kartu identitas itu, ada QR code yang bisa dibaca menggunakan alat scan QR code, dan dapat menunjukkan nama, nomor paspor, hotel yang ditempati, tanggal berangkat dan pulang umrah, serta sertifikat vaksin covid-19," ujarnya.
Ketika request visa umrah, tambah Nafit, jemaah umrah juga sudah harus membayar jaminan/asuransi kesehatan dan kematian.
Bagi jemaah yang sakit, dirawat di rumah sakit pemerintah. Jika tidak di rumah sakit pemerintah, muasasah harus tetap melakukan pengawalan terhadap risiko biaya yang timbul.
“Untuk jemaah yang wafat, kami mohon agar dipermudah saat mengurus klaim asuransi kematian yang bersangkutan," kata Nafit.
Terkait dengan jemaah yang pulang tidak dengan rombongannya karena sakit di rumah sakit, Nafit berharap muasasah dapat ikut bertanggung jawab mendampingi dan mengurusi jemaah, termasuk untuk proses pemulangannya dari Arab Saudi ke Indonesia.
"Kantor Urusan Haji KJRI Jeddah juga minta agar mendapatkan laporan jemaah sakit di Rumah Sakit Arab Saudi dari muasasah, dan dapat bekerjasama untuk proses pemulangan mereka dari Arab Saudi," ucapnya. ***