Terkesan Terburu-buru Disahkan dan Menjadi Gejolak, 67 Perguruan Tinggi Tolak UU Ciptaker

- 8 Oktober 2020, 09:16 WIB
ILUSTRASI demo tolak UU Cipta Kerja Omnibus Law
ILUSTRASI demo tolak UU Cipta Kerja Omnibus Law /.*/Instagram/@konfederasikasbi_

PR INDRAMAYU - Polemik tentang adaya pengesahan UU Ciptaker, sejumlah guru besar, dekan dan akademisi dari 67 perguruan tinggi di Tanah Air menyatakan keberatan dengan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker).

Akademisi menilai pengesahan UU Ciptaker oleh DPR terlalu terburu-buru disahkan.

"Mengapa UU Ciptaker yang prosedur dan materinya, yang muatannya banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan? Bahkan, menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhormat," ujar perwakilan dari akademisi, Prof Susi Dwi Harijanti, dalam pernyataannya yang disiarkan secara daring di Jakarta, Rabu 7 Oktober.

Baca Juga: Penelitian Terbaru dari Google, Akan ada Fitur Baru Mesin Pendeteksi Bahasa Isyarat

Susi menjelaskan pengesahan UU Ciptaker pada 5 Oktober lalu dilakukan pada tengah malam.

Padahal, biasanya pekerjaan politik yang dilakukan tengah malam seringkali berdekatan dengan penyimpangan.

"Biasanya DPR dan pemerintah lamban dalam membuat UU, bahkan UU yang jelas-jelas dibutuhkan oleh rakyat malah ditunda pembahasannya," tuturnya.

Baca Juga: Matikan Mikrofon Fraksi, Puan Disindir Nikita Mirzani: Negara Ini Dibangun Atas Dasar Pancasila

Dia menambahkan, saat UU tersebut masih berbentuk draf banyak yang mengkritik. Akan tetapi, pembuat UU bergeming. Padahal berdasarkan UU, partisipasi publik wajib dilibatkan dalam penyusunan aturan.

"Lalu dianggap apa partisipasi publik. Apakah tidak ingin mendengarkan suara kami, sebagai pemegang kedaulatan? Jadi untuk siapa sebenarnya UU ini, jika rakyat tidak didengar," imbuh dia.

Pakar hukum tata negara itu menjelaskan UU Ciptaker bahkan melanggar nilai konstitusi UUD 1945.

Baca Juga: Soal Aksi Mogok Nasional Buruh di Daerah, Said Abdullah: Stop Hoaks dan Provokasi UU Cipta Kerja

Contohnya, pada Pasal 18 ayat lima UUD 1945, yang mana pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, namun ternyata pada UU tersebut justru menarik kewenangan ke pusat.

"Peran Pemda dikerdilkan dan membuat Jakarta terlalu kuat. Begitu juga dengan hak buruh yang seakan diambil alih dengan menyerahkannya pada peraturan perusahaan," ujarnya.

Susi menambahkan, bagaimana relasi antara buruh dan perusahaan dapat berjalan adil, jika buruh diwajibkan mematuhi peraturan yang dibentuk perusahaan.

Baca Juga: Ironis Harga Masker Mahal, Fasilitas Medis Buruk, Warga di Suriah Lebih Memilih Mati Karena Covid-19

Kemudian, Undang-Undang Ciptakerja dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.

Di Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Selanjutnya, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

Baca Juga: Pro Kontra Aksi Najwa Shihab, Laporan Pelapor ke Polisi Ditolak, Suruh Melapor ke Dewan Pers

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Tak sedikit pihak yang khawatir akan poin ini, pemerintah tengah berupaya menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), termasuk upah minimum sektoral.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: wartaekonomi.co.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x