Singgung Rizieq Shihab dan Ujaran Kebencian, Dosen UGM: Negara Perlu Lakukan 2 Hal Berikut

- 24 Desember 2020, 15:20 WIB
Habib Rizieq Shihab.
Habib Rizieq Shihab. /ANTARA FOTO/Fauzan

PR INDRAMAYU – Menurut Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Mohammad Iqbal Ahnaf, tidak ada efek jera bagi pelaku ujaran kebencian dalam penegakan hukumnya.

Memang terdapat polemik dalam upaya penegakan hukumnya. Sebagai contoh adalah kasus yang menimpa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab.

Terdapat sejumlah kasus yang menjeratnya namun tidak ada kelanjutan dari prosesnya. Menurut Iqbal Ahnaf, penyebabnya adalah adanya tumpang tindih makna terkait ujaran kebencian, penodaan agama, dan perbuatan tidak menyenangkan.

Baca Juga: Tak Ketinggalan, Mbah Mijan juga Turut Soroti Isu Rachel Vennya Lepas Hijab

“Pada tahun 2016, Rizieq kembali diadukan ke pengadilan atas tuduhan kebencian terhadap agama Kristen karena berujar “kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”,” ujar Iqbal Ahnaf.

Menurut Iqbal Ahnaf, kata-kata Rizieq tersebut lebih tepat disebut penodaan agama atau perbuatan tidak menyenangkan, bukan ujaran kebencian.

Hasilnya penegakan hukum terkait kasus serupa menimbulkan perdebatan serta justru mendatangkan simpati untuk pelakunya.

Baca Juga: Dosen UGM Ungkap 4 Polemik Penegakan Hukum terkait Ujaran Kebencian, Begini Penjelasannya

Dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari The Conversation, negara perlu melakukan 2 hal berikut yakni:

1. Melakukan penegakan hukum pada ujaran kebencian yang paling keras

Yang dimaksud ujaran kebencian yang paling keras adalah yang menghasut atau mengajak massa secara terang-terangan untuk melakukan aksi kekerasan.

Penggunaan delik yang lebih terang dianggap bisa mengurangi potensi tuduhan adanya peradilan yang tidak adil terhadap pelaku ujaran kebencian.

“Bukan berarti ujaran kebencian dalam taraf yang lebih ringan tidak berbahaya, tetapi lebih baik negara menyerahkan hal itu menjadi arena pertarungan di ranah masyarakat,” tutur Iqbal Ahnaf.

Baca Juga: Kaleidoskop 2020: Simak Daftar 10 Pesohor Dunia dengan Bayaran Termahal, Ada Ronaldo dan Messi!

2. Aktor politik dan aparat keamanan tidak lagi membiarkan atau mendukung mobilisasi gerakan intoleran di tingkat lokal

Meskipun narasi di tingkat nasional berlawanan dengan kelompok (semisal FPI), pada tingkat lokal mereka mendapat sokongan dari aktor negara.

Hasilnya, organisasi itu pun mendapatkan peran di publik dan mendapat simpati dari kalangan masyarakat miskin.

“Mereka (aktor negara) misalnya memberi kelompok ini keuntungan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan konsesi di bidang jasa keamanan dan layanan sosial, dan melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan,” tutur Iqbal Ahnaf.

Baca Juga: Kaleidoskop 2020: Simak Daftar 10 Pesohor Dunia dengan Bayaran Termahal, Ada Ronaldo dan Messi!

Daripada menegakkan hukum secara agresif dengan pasal-pasal karet itu, sebaiknya pemerintah melakukan 2 hal di atas dalam menyikapi ujaran kebencian.***

Editor: Evi Sapitri

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah