PR INDRAMAYU – Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dinilai mengancam lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Dosen Universitas Airlangga (Unair), Herlambang P. Wiratraman.
Herlambang menuturkan bahwa pasal kontroversial di dalamnya lebih memihak investor. Dua di antara poinnya adalah mengorbankan lingkungan hidup dan menyederhanakan izin investasi.
Pelemahan Perlindungan Bagi Pembela Lingkungan
Pembela lingkungan sebenarnya sudah dilindungi oleh UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Baca Juga: Disdukcapil dan KUA Keluarkan Terobosan Baru, Gelar Pernikahan Langsung Dapat Three on One, Apa Itu?
“Pasal 66 UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ujar Herlambang dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari The Conversation.
Hanya saja pada praktik, pembela lingkungan sering mendapat kriminalisasi perdata maupun pidana, serta kekerasan fisik. Hadirnya UU Cipta Kerja dianggap memperparah kondisi tersebut.
Beberapa poin di antaranya adalah:
Baca Juga: Ramalan Zodiak Jumat, 13 November 2020: Aquarius Perlu Sabar hingga Taurus Buang Sifat Malas
1. Menguatnya Impunitas Bagi Perusahaan
UU Cipta Kerja memungkinkan perusahaan yang terbukti merusak lingkungan untuk semakin jarang diminta pertanggungjawaban di mata hukum. Pada kasus kebakaran hutan, para korporasi akan sulit diadili di meja hijau.
2. Hilangnya Peran Publik
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tidak menjadi dasar izin lingkungan dalam mendirikan perusahaan. Amdal hanya dijadikan persyaratan administrasi.
“Selain itu, Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan yang tidak melibatkan peran masyarakat setempat, organisasi lingkungan serta kalangan akademisi,” ungkap Herlambang.
Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Video Pidato Anti Islam di Parlemen Prancis, Simak Kebenarannya
3. Terbatasnya Institusi Perlindungan Bagi Aktivis
Para pembela lingkungan akan sulit dalam melakukan advokasi atau menuntut kasus terkait hukum lingkungan.
Pasalnya adalah terbatasnya fungsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pengawas kekuasaan. Selain itu, kedua institusi tersebut diketahui memiliki pendanaan terbatas.
Rentan Represi dan Ancaman
Sebelum ada UU Cipta Kerja, para pembela lingkungan sudah sering mendapatkan ancaman akibat mengungkap isu terkait eksploitasi sumber daya alam. Represi tersebut juga menimpa jurnalis.
Baca Juga: Pers Papua Diklaim Sulit Memberitakan Kasus HAM, Dosen UGM Angkat Bicara
Data ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) mengungkapkan bahwa:
1. Ada 27 kasus kekerasan menimpa pembela lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota.
2. Rinciannya adalah 17 kasus sektor agraria, 6 kasus pertambangan, 3 kasus infrastruktur, dan 1 kasus pariwisata.
3. Jumlah korban mencapai 128 orang, 32 di antaranya adalah petani, 12 nya adalah masyarakat adat.
Baca Juga: Berikut Beberapa Ide Menarik yang Dapat Dilakukan untuk Merayakan Hari Ayah di Masa Pandemi Covid-19
“Di kalangan jurnalis, ada kasus pembunuhan Ardiansah Matra’is, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV, di Merauke, Papua, tahun 2010.
“Atau, kasus penganiayaan berat terhadap Ahmadi, wartawan Harian Aceh oleh Pasi Intel KODIM 0115 Simeulue di Makodim Simuelue, pada tahun yang sama,” tutur Herlambang.
Mereka adalah wartawan yang memberitakan kasus pembalakan liar di daerah masing-masing.
Baca Juga: Buka Peluang Ekspor, Ridwan Kamil Siapkan 1.000 Hektare untuk 1.000 Petani Milenial
Perlindungan HAM Berbasis Pasar
Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang menekankan perlindungan HAM, hanya saja menurut Herlambang hal itu tetap berusaha untuk tidak bertentangan dengan kepentingan investasi dan prioritas ekonomi Indonesia.
Istilahnya adalah penegakan HAM berbasis pasar. Kebijakannya dianggap dipengaruhi kepentingan investasi, pemodal, dan perdagangan bebas.
“Salah satu turunan produk hukumnya adalah UU Cipta Kerja yang juga membuka peluang serangan terhadap pembela lingkungan,” kata Herlambang.***