UU Ciptaker Ubah Sistem Sertifikat Halal, Komisi Fatwa MUI: Bisa Melanggar Syariat

14 Oktober 2020, 12:34 WIB
Logo MUI. //Dok. prfm/

PR INDRAMAYU - Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal.

Sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sekarang UU Ciptaker mengatur alternatif sertifikat halal dapat diberikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Dilansir PikiranRakyat-Indramayu.com dari RRI 14 Oktober 2020, Aminudin Yakub selaku Anggota Komisi Fatwa MUI menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini, Rabu 14 Oktober 2020: Gemini Perlu Refreshing, Leo Lagi Sensitif

"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin, Rabu 14 Oktober 2020

"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," imbuhnya.

Dikatakan, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertulis dalam UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 terkait tentang Jaminan Produk Halal.

Baca Juga: Gagal Penuhi Keinginan Rakyat Terkait Krisis Ekonomi, Kim Jong Un Teteskan Air Mata Saat Berpidato

1. Persyaratan auditor halal

Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Sedangakan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujan terhadap kehalalan produk.

Baca Juga: IPhone 12 Bakal Segera Diproduksi Massal, tapi Fitur Utamanya Akan Hilang

Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:

(1) Warga negara Indonesia

(2) Beragama Islam

(3) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi

Baca Juga: Stasiun Gambir Tidak Alami Perubahan Waktu Keberangkatan di Masa PSBB Transisi, Catat Jadwalnya!

(4) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam

(5) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan

(6) Memperoleh sertifikat dari MUI

Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (6) dihilangkan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.

Baca Juga: Tenda-tenda Pleton Satgas TMMD juga Disemprot Disinfektan BPBD Bumiayu Brebes

2. Cara memperoleh sertifikat halal

Pada Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dijelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.

Pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.

Baca Juga: Minta Tetap Dibatalkan Pengesahan RUU Cipta Kerja, Serikat Buruh Ancam Demo Bakal Terus Berlanjut

Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.

Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.

3. Waktu penerbitan

Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.

Baca Juga: Kelapa Sawit JadiI Komoditi Paling Tangguh di Tengah Pandemi, Kendala Justru Muncul dari Sisi Lain

Tetapi, pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.

Sementara itu, Pasal 35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.

Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler