Konon, saat kondisi keraton tidak kondusif, Sultan Matangaji yang memang memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan cenderung dekat dengan para ulama, memerintahkan qodhi atau kholifah raja untuk mendirikan pesantren di berbagai pelosok yang jauh dari jangkauan penguasa.
Ki Jatira, juga digambarkan sebagai sosok ulama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Ia tak segan membela masyarakat miskin yang tertindas.
Jika dalam banyak catatan sejarah yang menyebutkan bahwa pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren yang jauh dari keramain dan kondisi lingkungan yang gersang, baik dari aspek lahan maupun gersang spiritualitas, maka pernah dilakukan ratusan tahun sebelumnya oleh Ki Jatira.
Ia sengaja memilih desa yang gersang. Lahan pertanian di kawasan tersebut dulunya juga kering, kurang subur.
Justru kondisi itulah yang memacu Ki Jatira untuk mengembangkan pondok pesantren bersama beberapa warga, hingga akhirnya menjadi subur.
Pondoknya pun dapat dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian, terutama dari pengaruh hingar binger kekuasaan dan penjajah Belanda.
Itulah yang menjadi titik awal dirintisnya pesantren sederhana yang kini dikenal dengan nama Pesantren Babakan.
Singkat cerita, Ki Jatira wafat meninggalan pondok pesantren. Setelah itulah sempat terjadi kevakuman aktivitas pesantren.