Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Terbakar Hebat di Masa Panembahan Ratu, Isyarat Jatuhnya Kesultanan Banten

6 Juni 2022, 20:58 WIB
Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon, peninggalan Sunan Gunung Jati yang dibangun pada 1489, terletak di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, konon menjadi saksi saat Wali Songo berdialog dengan Syekh Siti Jenar /Tangkapan layar dari cirebonkota.go.id

Masjid Agung Cirebon atau Mesjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan Situs bersejarah sekaligus bukti keberadaan Dewan Walisanga.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1498 oleh Walisanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati.

Pambangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat dari Majapahit yang dikerjakan bersama dengan 200 orang pembantunya dari Demak.

Baca Juga: Tak Pandang Saudara, Sunan Gunung Jati Tegas Menghukum Syekh Siti Jenar atas Rekomendasi Para Wali

Saat ini kemegahan bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di samping alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon masih tampak megah dan artistik.

Diceritakan dalam Naskah Mertasinga (pupuh LXIX.09 sampai LXIX.18), suatu ketika Panembahan Ratu, penguasa Kesultanan Cirebon menghadapi masalah.

Tiba-tiba saja Masjid Agung Sang Cipta Rasa terbakar, terutama di bagian atap. Ini kejadian tak biasa dan tidak disebabkan karena ulah manusia.

Baca Juga: Atas Petunjuk Ibunya, Sunan Gunung Jati Tinggalkan Mesir di Usia 20 Tahun, Seorang Diri Mencari Tanah Cirebon

Banyak yang menyebut ini disebabkan karena ulah golongan hitam (gaib) dengan maksud tertentu.

Disebutkan dalam Naskah Mertasinga, konon peristiwa itu menjadi salahsatu cobaan yang silih berganti dialami Panembahan Ratu.

Cobaan itu ia hadapi selama sekitar empat puluh delapan tahun.

Baca Juga: 10 Nasihat Sunan Kalijaga Melalui Sosok Semar Dalam Pewayangan, Bisa Jadi Tuntunan Hidup

Kembali pada cerita terbakarnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Api yang menyerang atap masjid datang dari arah selatan.

Melihat kobaran api, masyarakat gempar, semua berdatangan membawa berbagai barang seadanya untuk memadamkannya.

Dikisahkan, Ki Lebe Dul Iman sibuk mendorong-dorong kayu yang terbakar dengan galahnya. Merbot Hamjan bersama Ki Modin menaburkan debu dan mengerahkan orang-orang yang membawa air.

Baca Juga: Andai Syekh Dzatul Kahfi Tidak Meminta Nyai Rarasantang Pergi ke Mekkah, Tak Akan Ada Sunan Gunung Jati

Modin Yusup dan para pembantunya menaburkan tanah untuk mematikan api.

Berdatangan pula para lebe atau “kepala desa” dari pedesaan untuk membantu memadamkan api.

Di tengah kesibukan itu tiba-tiba pataka (puncak masjid) atau memolo-nya terbang melesat ke atas menembus asap hitam yang membumbung ke angkasa dan mengarah ke barat.

Baca Juga: Kisah Lahirnya Sunan Gunung Jati, Tempat, Nasab, hingga Nama Kecilnya Versi Purwaka Caruban Nagari

Usut punya usut, memolo yang terbakar tersebut jatuh di tanah Banten. Peristiwa ini menjadi isyarat bagi Banten, bahwa tahta sultan akan segera lengser.

Setelah memolo terbang, akhirnya api pun dapat dipadamkan. Yang terbakar adalah pataka beserta atapnya yang bersusun tiga.

Atas kehendak Gusti Pakungwati, para petinggi, buyut, sesepuh, dan semua juru kunci dikumpulkan untuk bermusyawarah menyiapkan perbaikan masjid yang diperintahkan Panembahan.

Baca Juga: Prabu Siliwangi Kalahkan Ratusan Pendekar untuk Dapatkan Cinta Nyai Subang Larang, Nenek Sunan Gunung Jati

Dalam pertemuan itu diusulkan untuk mengganti atap yang terbakar itu dengan atap berbentuk limasan (bentuk atap rumah), jadi tidak dibangun lancip seperti sebelumnya.

Alasannya, keadaannya sudah berbeda dengan jamannya para wali dahulu. Panembahan Ratu menyetujui usul itu dan bangunannya ditambah dengan emper di sekitarnya sebagai serambi.

Pintunya juga ditambah bata mulus yakni bata putih yang dibentuk indah. Di bagian pengimaman dibentuk bunga Tanjung di atas telaga beserta bentuk jantung pisang yang tersembul dengan indah.

Baca Juga: Sunan Gunung Jati Paling Sukses Sebarkan Islam dengan Sufistik, Sunan Bonang Sempat Gagal Lalu Ikuti Jejaknya

Atap mesjid itu telah dibangun kembali dengan indah, sebagai tanda penghormatan atas jasa para leluhur, yaitu para Walisanga kepada anak cucu Carbon. ***

 

Editor: Ahmad Asari

Sumber: Naskah Mertasinga

Tags

Terkini

Terpopuler