Sunan Gunung Jati Paling Sukses Sebarkan Islam dengan Sufistik, Sunan Bonang Sempat Gagal Lalu Ikuti Jejaknya

- 1 Mei 2022, 22:32 WIB
 Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon, peninggalan Sunan Gunung Jati yang dibangun pada 1489, terletak di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, masjid ini disebut-sebut sebagai masjid tertua di Cirebon.
Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon, peninggalan Sunan Gunung Jati yang dibangun pada 1489, terletak di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon, masjid ini disebut-sebut sebagai masjid tertua di Cirebon. /Tangkapan layar dari cirebonkota.go.id

INDRAMAYUHITS – Banyak sejarawan menyebut penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa dianggap fenomenal.

Pasalnya, meski berada jauh dari tanah kelahiran agama Islam, Arab Saudi, namun jumlah penganutnya sangat besar.

Apalagi kalau dilihat dari proses penyebarannya yang jauh dari kekerasan (perang), membuat banyak sejarawan luar negeri tertarik untuk melakukan kajian.

Baca Juga: Sunan Gunung Jati Dapat Pesan Khusus Ini dari Syekh Athaillah Assakandari, Sunyoto: Maknanya Sangat Dalam

Dilansir Indramayu Hits dari laman JATMAN, para sejarawan Barat mempunyai keyakinan, Islam mudah disebarluaskan di Nusantara karena dibawa para dai yang membawa corak Islam sufistik.

Diyakini, itulah yang menyebabkan penduduk Nusantara yang semula beragama Hindu dan Budha, mudah tertarik terhadap ajaran agama Islam.

Pasalnya, kata sejarawan Barat, tradisi Hindu dan Budha yang kaya dengan dimensi metafisik dan spritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarekat yang dibawa oleh para wali.

Baca Juga: Kisah Kewalian Habib Toha Lewat Mimpi Orang Sholeh yang Bertemu Sunan Gunung Jati dalam Rapat Wali Qutub

Sayangnya, sedikit sekali dokumen sejarah Islam sebelum abad ke-17 yang bisa dilacak untuk mendeteksi lebih lengkap terkait pendapat sejarawan Barat tersebut.

Namun demikian, beberapa cacatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja Muslim.

Di antara referensi keterkaitan Wali Songo dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante dan sejarah Banten kuno.

Baca Juga: GARTIS! 13 Link Twibbon Hari Raya Idul Fitri 1443 H, Yuk Berbagi Ucapan Lebaran di Media Sosial

Referensi tersebut dibuat dalam bentuk tulisan karya sastra yang ditulis pada awal berdirinya Kesultaanan Banten.

Dalam Serat Banten Rante-rante disebutkan, Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke Tanah Suci.

Beliau bertemu dengan dua tokoh besar dalam khazana Islam, yakni Syekh Najmuddin Kubra dan Syekh Abul Hasan Asy-syadzili.

Baca Juga: Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya NU Ternyata Adalah Ulama Besar Keturunan Cirebon

Dari kedua tokoh berlainan masa itu Sunan Gunung Jati konon memperoleh ijazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.

Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati dengan yang hidup di abad ke-16 dengan Syekh Abul Hasan asy-Syadzili yang wafat di abad ke-13.

Apalagi dengan Syekh Abu Najmuddin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M. Artinya tidaklah mungkin pertemuan dilakukan secara fisik.

Baca Juga: KEHEBATAN Strategi Perang Sunan Gunung Jati Muda Saat Bantu Kerajaan Demak Kalahkan Majapahit, Mulai Disegani

Namun terlepas dari bagaimana pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat itu dilakukan, yang pasti dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultaanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Tarekat Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.

Selain Sunan Gunung Jati, anggota Wali Songo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang.

Dalam Babad Tanah Jawi misalnya, Sunan Ampel disebut-sebut mengajarkan Suluk Tarekat Naqsabandiyah.

Baca Juga: Sejarah Sunan Gunung Jati: Putri Kaisar Tiongkok Minta Dinikahi Usai Jajal Kesaktian Syekh Syarif Hidayatullah

Penyematan bahwa Sunan Ampel menjadi tokoh pembawa Tarekat Naqsabandiyah ini juga disebutkan dalam Kitab Ahla al Musamarah fi Hikayat al Auliya’ al Asyrah tulisan Syekh Abul Fadhol Senori. 

Demikian juga Sunan Bonang, diceritakan dari Carita Sejarah Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah di Kediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, ia lalu pindah ke Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak.

Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itulah Sunan Bonang melanjutkan dakwahnya.

Adapun pendekatan yang dilakukan, baru-baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat. ***

Editor: Kalil Sadewo

Sumber: JATMAN


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x