Prof. Mahfud menemukan hal itu dari karakteristik tanah di wilayah Jatinangor. Tanah di Jatinangor merupakan hasil endapan erupsi Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Tampomas yang terjadi beberapa ratus tahun lalu.
“Tapi tanah di Jatinangor cokelat tidak hitam seperti tanah di Lembang yang sama-sama hasil erupsi Gunung Tangkubanparahu. Kenapa? Karena Jatinangor ketinggiannnya rendah sehingga pelapukannya lebih cepat,” kata dia.
Baca Juga: Timnas Thailand Kunci Tiket Semi Final AFF Suzuki Cup 2020
Mengingat proses pelapukan yang lama, pemanfaatan lahan subur dari bekas erupsi harus dikelola sebaik mungkin. Jangan sampai, tanah tersebut hilang dengan cepat karena pengelolaan yang tidak baik.
Dia menjelaskan, di beberapa wilayah, tanah vulkanik berada pada lereng curam. Kondisinya mudah tererosi apabila masyarakat melakukan eksploitasi tanpa melestarikannya.
Pengolahan tanah harus disertai dengan teknik konservasi tanah dan air, antara lain pembuatan terasering, urugan, hingga pengaturan jarak tanam.
Tanah yang tidak dikelola dengan teknik konservasi akan rentan mengalami erosi. Padahal dari hasil studi di Gunung Krakatau saja, untuk mendapatkan tanah subur setebal 25 sentimeter memerlukan waktu pelapukan mencapai 100 tahun.
“Kalau kena erosi terus, dalam beberapa tahun ke depan akan cepat hilang. Makanya harus disertai teknik konservasi tanah dan air,” pungkas Prof. Mahfud. ***