Polemik di Keraton Kasepuhan Cirebon, Pengamat : Presiden Perlu Turun Tangan Memediasi

2 September 2020, 16:22 WIB
Jiarah di depan Lawang Gede Pasujudan Komplek Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat.* /Dok Kendi Pertula/

PR INDRAMAYU - Menindaklanjuti perkembangan ketegangan terkait sebelum dan sesudah pergantian sultan sepuh, di Keraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat pasca wafatnya Sultan sepuh ke XIV PRA Arief Natadiningrat, SE dan prosesi Jumenengan PRA Luqman Zulkaedin, masih adanya sejumlah gelombang penolakan.

Pengamat Sejarah Cirebon Mustaqim Asteja mengatakan, apabila kita membuka lembaran arsip sejarah Cirebon hal ini pernah beberapa kali terjadi sejak masa VOC - Belanda, sejak 7 Januari 1681 Cirebon merupakan daerah protektorat dan monopoli VOC - Belanda.

Pada tanggal 21 April 1815 pemerintah Inggris melekuidasi menghapuskan kekuasaan kesultanan Cirebon, sejak saat itu sultan-sultan Cirebon tidak lagi menjadi kepala pemerintahan atau politik di Cirebon, hanya sebatas sebagai pemangku pelestarian adat tradisi Cirebon turun temurun sejak jaman Sunan Gunung Jati, namun demikian mereka masih diperkenankan memakai gelar, dan atribut-atribut tradisi kebesaran kesultanan.

Baca Juga: Tinjau Ulang Airline Hub, Jokowi: Negara Lain Tak Ada yang Miliki Bandara Internasional Sebanyak Ini

" Klimaksnya terjadi pada tahun 1819 posisi sultan sebagai Pemimpinan pemerintahan digantikan oleh para bupati di wilayah Karesidenan Cirebon, yang dahulunya merupakan wilayah Kasultanan Cirebon, " katanya.


Mustaqim menambahkan secara politis wilayah Cirebon menjadi tanah Gubernement Landen yang pengaturannya langsung diatur oleh Gubernur Jenderal ( pejabat kolonial Belanda setingkat Presiden sekarang) di Batavia.

Ketika ada seorang sultan meninggal dunia, maka pemerintah Hindia Belanda, memfasilitasi proses suksesi pergantian sultan, Hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, untuk menjaga kondusifitas dan kepentingan Hindia -Belanda di wilayah Cirebon.

Baca Juga: Cakupi Dua Jenis Kerugian, Terbakarnya Gedung Kejaksaan Diprediksi Merugi Rp1,1 Triliun Lebih

" Dalam mediasi tersebut pemerintah kolonial Belanda memfasilitasi suksesi pergantian sultan dengan cara menekan pihak-pihak keraton yang bersengketa untuk segera bermufakat menentukan pengganti sultan yang telah wafat, " ungkapnya.

Jika pihak pihak famili keraton telah bermufakat dan berhasil menentukan pengganti sultan, maka Gubernur Jenderal Hindia Belanda, secara resmi mengeluarkan Besluit (surat keputusan) penetapan sultan.

Hal ini dilakukan berkaitan dengan hak-hak yang diterima oleh Sultan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti sejumlah uang untuk pemeliharaan keraton dan astana Gunung Sembung kompleks makam Sunan Gunung Jati.

Baca Juga: Kabar Baik Pemilik Rekening BCA, Subsidi Gaji Sudah Cair, Cek Saldomu Sekarang Juga!

" Bila merujuk sejarah pergantian sultan tersebut diatas, dalam menghadapi situasi ketegangan saat ini, maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Presiden RI atau setidaknya Mentri Dalam Negeri, hadir untuk memediasi proses suksesi pergantian sultan di kasultanan kasepuhan agar berjalan dengan damai, " tandasnya.

dirinya menambahkan kehadiran pemerintah sangat perlu karena kasultanan Cirebon khususnya kasultanan kasepuhan, adalah bagian dari NKRI juga keraton Kasepuhan merupakan kawasan Cagar Budaya, yang harus dilestarikan keberadaannya karena dilindungi oleh undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang harus dilestarikan.

" Selain itu juga Keraton Kasepuhan adalah destinasi wisata sejarah dan budaya unggulan dan keraton tertua yang masih eksis di Indonesia, yang harus tetap kondusif agar kegiatan kepariwisataan dapat berjalan dengan lancar sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat khususnya di sekitar keraton, " pungkasnya.***

Editor: Egi Septiadi

Tags

Terkini

Terpopuler