Waspada Bahaya Kesehatan Mata Intai Balita yang Terlalu Lama Melihat Layar Ponsel, Simak Alasannya!

4 Desember 2020, 13:31 WIB
Ilustrasi. Kesehatan mata anak. /PEXELS/Daria Shevtsova/

PR INDRAMAYU – Alih-alih menjadikan melek teknologi, menatap layar digital seperti ponsel, TV, dan laptop bisa membuat mata balita lelah serta berpotensi merusak kesehatannya dalam jangka panjang.

“Sebuah riset di Yoyakarta dengan sampel 227 anak pada 2017 menunjukkan anak prasekolah yang terpapar penggunaan gadget yang tinggi berisiko 1,3 kali lebih besar mengalami kelebihan berat badan.

“Dari riset itu tampak bahwa semakin lama screen time (dengan demikian kurang gerak fisik), maka semakin besar indeks massa tubuh anak atau berat badan berlebih,” ujar dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Mahaputra.

Baca Juga: Jelang Pembukaan Sekolah Tatap Muka, DPR Singgung Dana BOS Hingga Keuangan Negara

Celakanya obesitas berisiko menyebabkan hipertensi, jantung koroner, kencing manis, serta radang sendi.

Layar Screen yang Masif

Dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari The Conversation, digital babysitting (kebiasaan anak duduk tenang di depan layar digital) menjadi sesuatu yang populer kala pandemi melanda.

Pasalnya orang tua yang harus fokus bekerja di rumah perlu untuk menenangkan anak-anaknya melalui ponsel.

Baca Juga: Dokter Kulit Ungkap 5 Manfaat Serum Wajah, Singgung Kelembapan dan Penuaan

Hal ini didasarkan pada survei yang melibatkan 2.400 orang tua yang dilakukan di sejumlah negara secara daring.

Hasil survei menyebutkan bahwa 1 dari 4 orang tua memberikan gawai kepada balita karena khawatir sang anak ketinggalan zaman serta untuk menenangkan mereka.

“Penggunaan ponsel ini berkaitan erat dengan lamanya screen time pada masyarakat secara umum. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, menyatakan dua dari tiga orang Indonesia menggunakan smartphone.

Baca Juga: 9 Bulan Covid-19, Ilmuwan Ungkap 3 Alasan Gagalnya Indonesia Tangani Pandemi

“Sekitar 55% dari pengguna smartphone melihat smartphone lebih dari 3 jam per hari, baik untuk melihat media sosial, telepon, chatting maupun menonton video,” tutur Mahaputra.

Fase Mendapat Kenikmatan

Sebagai fase aktif manusia, balita merupakan fase perkembangan anak yang cukup menantang serta memerlukan banyak waktu.

Rasa ingin tahu yang tinggi dipengaruhi perkembangan salah satu sistem otak balita yakni dopamin.

Sistem tersebut menjadi pusat kenikmatan yang memastikan nikmat atau tidaknya kegiatan atau situasi. Sistem itu akan aktif pada sesuatu yang dianggapnya menyenangkan.

Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Terjemahan Baru Surat Al Maidah 51 'Pemimpin' Diganti 'Teman Setia', Ini Faktanya

“Orang tua yang tidak memahami keadaan ini akan cenderung kewalahan dan berharap anaknya tenang. Pada titik itulah, orang tua kerap “menenangkan” anaknya dengan memberinya telepon pintar yang yang tersambung ke internet,” ujarnya.

Dampak negatif jangka pendek pemberian gawai adalah mata anak jadi cepat lelah. Dampak jangka panjangnya bisa mengganggu fungsi kognitif khususnya yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah.

Anak akan cenderung melihat yang instan pada layar dibanding melakukan aktivitas fisik. Akibatnya sang anak pun berpotensi terkena obesitas.

Oleh karena itu, ahli kesehatan anak dan psikologi tidak menyarankan digital babysitting tersebut.

Baca Juga: Simak 7 Jenis Lobster Beserta Potensinya di Indonesia, Singgung Syarat dan Tantangan Budidaya

Maksimal 1 Jam per Hari

Jika terpaksa, Akademi Pediatrik Amerika (AAP) menyarankan untuk melakukan hal tersebut 1 jam per hari dengan syarat konten yang disajikan harus benar-benar mendidik. Orang tua diharuskan mendampingi atau menonton bersama.

Akan lebih baik saat orang tua mengajak balita untuk melakukan aktivitas lain untuk mengatasi kebosanan yang dialami balita.

“Kita perlu mengubah aktivitas anak ke arah yang lebih sehat. Aktivitas permainan yang tidak berhubungan dengan layar digital akan membuat balita menjadi lebih kreatif dan tidak memiliki kebiasaan mencari kesenangan dengan melihat layar digital,” ujarnya Mahaputra.***

Editor: Evi Sapitri

Sumber: The Conversation

Tags

Terkini

Terpopuler