JANGAN DISEPELEKAN! Ini Konsekuensi Ketika Memakan Barang Syubhat, Tidak Cukup Hanya Dengan Bertaubat!

- 2 Juni 2022, 22:40 WIB
Ilustrasi barang syubhat.
Ilustrasi barang syubhat. /Pixabay/Арсений Попов

INDRAMAYUHITS - Umat islam dianjurkan berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan, karena ada makanan yang diharamkan dikonsumsi umat muslim.

Pada artikel kali ini, akan membahas hal tersebut, dengan diawali sebuah pertanyaan.

Apa yang Harus Dilakukan? Kalau Terlanjur Makan Barang Haram.

Mengonsumsi makanan haram adalah sebuah larangan dalam agama Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam salah satu firman-Nya:

   وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ  

 Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

Baca Juga: Kisah Syekh Siti Jenar Kecil Hingga Ajarannya yang Meresahkan Para Wali

Santapan tabu dalam ulasan ini melingkupi kepada 2 perihal. Awal, santapan yang dengan cara dzatiyah memanglah diharamkan buat disantap, semacam daging babi, daging buntang, serta sejenisnya.

Kedua, santapan yang dengan cara dzatiyah dihalalkan oleh syara’, tetapi sebab diperoleh dengan metode yang tabu, beliau berganti status jadi tabu, semacam daging lembu hasil jarahan, membeli santapan dengan duit yang tabu, serta contoh- contoh sejenisnya

2 tipe santapan di atas merupakan santapan yang tabu buat disantap oleh seseorang Mukmin.

Lalu gimana bila seseorang Mukmin terlanjur ataupun sempat komsumsi santapan yang diharamkan oleh syara’?

Baca Juga: Puisi 'Hujan di Bulan Juni' Karya Sapardi Djoko Damono Sang Legenda Sastra Indonesia

Saat sebelum menanggapi persoalan itu, bagus rasanya kita cermati satu kasus yang dialami oleh sahabat Nabi, Abu Bakar ketika saat mengetahui makaman yang dikonsumsi syubhat.

وَثَبَتَ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَكَلَ شُبْهَةً غَيْرَ عَالِمٍ بِهَا، فَلَمَّا عَلِمَهَا أَدْخَلَ يَدَهُ فِيْ فِيْهِ فَتَقَيَّأَهَا

“Terdapat keterangan dari Sahabat Abu Bakar bahwa beliau pernah mengonsumsi makanan syubhat yang tidak ia ketahui. Ketika beliau mengetahui bahwa makanan tersebut syubhat, beliau memasukkan tangan ke dalam mulutnya lalu berusaha memutahkan makanan itu” (Musthafa Bagha dan Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarh Arba’in an-Nawawi, hal. 38).  

Dari kisah tersebut kiranya dapat diambil pelajaran (ibrah) tentang bahaya mengonsumsi makanan syubhat serta kehati-hatian Sayyidina Abu Bakar dalam menyaring makanan yang masuk ke perutya.

Jika pada makanan syubhat saja wujud kehati-hatian beliau sampai demikian, apalagi pada perkara yang haram!   Hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah mengonsumsi makanan haram adalah bertaubat.

Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:

Poin nomor pertama hingga ketiga berlaku untuk kasus dosa atau maksiat yang berhubungan dengan Allah (haqqullah), sedangkan poin keempat adalah syarat tambahan ketika doa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia (haq adami). (Lihat Imam An-Nawawi, al-Adzkar An-Nawawiyah, h. 438).

Berdasarkan referensi di atas, cara bertaubat antara mengonsumsi makanan haram secara dzatiyah dan makanan haram karena melalui cara yang haram pun berbeda.

Baca Juga: Persebaya Resmi Datangkan Pemain Asal Brazil, Siapa Dia? Berikut Bocorannya

 Yang pertama cukup dengan menerapkan tiga syarat di atas karena menyangkut haqqullah, sementara yang kedua mesti ditambah dengan syarat taubat yang keempat, yakni menyelesaikan urusan sosialnya: mengganti makanan yang telah dikonsumsi, meminta maaf, serta meminta kerelaan pada pemilik makanan.  

Kitab Bughyah al-Mustarsyidin memberi penjelasan lebih rinci tentang penyelesaian haq adami ini:   Orang yang memperoleh harta haram atau hasil kezaliman (pencurian, korupsi, penipuan, dan semacamnya) wajib bertaubat dengan cara mengembalikan seluruh harta haram itu sesegera mungkin kepada pemilik.

Jika si pemilik tidak diketahui, selama masih mungkin ditemukan, wajib baginya berikhtiar secara sungguh-sungguh mencarinya atau ahli warisnya. Disunnahkan mengumumkannya ke khalayak.

Barang itu boleh tetap dibawa ketika tidak menemukan qadli terpercaya (institusi berwenang yang dapat diserahi barang tersebut, red).

Jika ikhtiar maksimal mencari pemilik tidak berhasil maka harta tersebut tergolong bagian harta baitul mal (kas pemerintah), seperti halnya harta titipan dan harta ghasab yang kecil kemungkinan ditemukan pemiliknya, begitu juga harta warisan (tirkah) yang tidak diketahui ahli warisnya.

Harta-harta ini pada akhirnya adalah milik publik, yang mesti dialokasikan untuk kemaslahatan umat Muslim, berdasarkan prioritas kepentingan mereka, seperti membangun masjid, sekiranya tidak ada pengalokasian yang lebih umum lagi.

Jika pemakan harta haram itu adalah orang fakir, maka ia boleh mengambil harta tersebut berdasarkan kadar kebutuhan dirinya dan keluarganya yang juga fakir, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj dan lainnya. (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Darul Fikr, hal. 329).***

 

Editor: Ahmad Asari

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x