Dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari akun Instagram @studentrihlahindonesia, webinar tersebut diberi judul “Menelusuri Jejak Islam, Protes Sosial Ulama Dan Petani Melawan Imperialisme Di Indramayu, Jawa Barat”.
Kegiatan yang didukung oleh komunitas Sanggar Aksara Indramayu itu dihadiri 2 pembicara yakni Ki Tarka Sutarahardja dan Dr. Wahyu Iryana, M.Hum. Yang bertindak sebagai pemantik adalah Imam Tantoni, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang merupakan pegiat Student Rihlah Indonesia.
Ki Tarka adalah penulis yang menerjemahkan cerita tentang salah satu sumber sejarah Indramayu dalam sebuah buku.
Baca Juga: Ceritakan Perjuangan Berkarir, Raffi Ahmad Akui Dirinya Kehilangan Waktu untuk Pendidikan
Buku tersebut berjudul “Babad Dermayu dan Serat Wali Sana”. Ia juga merupakan pengurus Museum Bandar Cimanuk yang berlokasi di Jalan Veteran Nomor 1 Lemahabang, Indramayu.
Wahyu Iryana adalah dosen Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pria asli Indramayu tersebut merupakan penulis buku roman sejarah “Momi Kyoosyutu: Petani Indramayu”, dan Historiografi Umum.
Doktor Ilmu Sejarah Unpad tersebut menulis tentang pemberontakan petani Indramayu di Jurnal Patanjala yang terbit pada 2017 lalu. Tulisan tersebut diberi judul “Protes Sosial Petani Indramayu pada Masa Jepang 1942-1945”.
Baca Juga: Cek Fakta: Beredar Kupon Senilai Rp2 Juta Memperingati Ulang Tahun ke-21 Alfamart, Berikut Faktanya
Wahyu Iryana dalam Jurnal Patanjala menyatakan bahwa kedatangan Jepang pada 1 Maret 1942 disambut gembira karena dianggap pahlawan oleh warga Indramayu. Pasalnya, Jepang dianggap telah berhasil mengusir penjajah Belanda.
“Rakyat bergembira di mana-mana tentara Jepang disambut seperti pahlawan, walaupun dengan bahasa isyarat saja, karena satu sama lain tidak memahami bahasanya,” tutur Wahyu Iryana.