Menyikapi Pendidikan Anak Autisme, dari Penguatan Kebijakan hingga Kolaborasi

- 30 Oktober 2020, 07:55 WIB
SEDIH karena ditinggal meninggal sang ayah, bocah penderita Autisme ini kunjungi pusarannya untuk 'bercerita' setiap Jumat
SEDIH karena ditinggal meninggal sang ayah, bocah penderita Autisme ini kunjungi pusarannya untuk 'bercerita' setiap Jumat /www.facebook.com/Pahtiepah

PR INDRAMAYU – Mengakomodasi kebutuhan anak penyandang autisme adalah salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia. Mereka ditandai dengan mengalami gangguan syaraf. Cirinya adalah kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari The Conversation, fenomena ini diteliti oleh kandidat PhD (Doktor) Universitas Hawaii, Andini Desita Ekaputri, dan Peneliti Sosiologi Pendidikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah.

Penyandang disabilitas membutuhkan perhatian khusus. Namun perhatian pemerintah terhadap mereka masih minim.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Jumat, 30 Oktober 2020: Aries Miliki Kesempatan Emas dan Scorpio Lebih Emosional

Pandemi Covid-19 turut memperparah kondisi tersebut. Diliburkannya sekolah formal menyulitkan proses belajar mengajar mereka. Pembelajaran daring bukanlah solusi yang tepat.

Semua masalah tersebut bermuara pada kekeliruan dalam kebijakan terkait pendidikan untuk anak autis. Koordinasi antara lembaga pendidikan dan masyarakat juga belum terjalin dengan baik.

Masalah Kebijakan

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan sedikit perhatian terhadap anak penyandang autisme. Bentuknya adalah pendataan yang dilakukan sekolah inklusif serta perkemahan siswa Sekolah Luar Biasa.

Baca Juga: Tindaklanjuti Surat Edaran Kemenaker, Hilman: Sama Saja Tidak Ada Kenaikan Upah Minimum Kota

Namun perhatian tersebut dirasa masih memandang secara umum kepada anak berkebutuhan khusus, tidak secara langsung kepada penyandang autisme. Indonesia perlu mencontoh negara lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memang telah menjamin penyandang disabilitas untuk memperoleh hak pendidikan yang sama di semua jenjang dan jalur.

“Kemudian ada Peraturan Menteri Pendidikan No. 70 Tahun tentang pendidikan inklusif yang masih menuai beberapa kritikan karena sangat umum aturannya dan kurangnya komitmen pemerintah,” ujar Andini dan Anggi.

Baca Juga: Twitter Ubah Fitur 'Retweet' hingga Pemilu AS Berlangsung, Begini yang Bisa Dilakukan Pengguna

Namun regulasi tersebut hanya mewajibkan pemerintah kabupaten atau kota untuk menunjuk minimal 1 sekolah di tiap kecamatan sebagai tempat belajar anak berkebutuhan khusus. Pemerintah cenderung menggeneralisasi kategori disabilitas.

Terminologi yang diambil pembuat kebijakan juga bermasalah. Regulasi tersebut masih menyebut penyandang disabilitas sebagai “berkelainan”, “penyandang cacat”, dan “anak yang memiliki keunggulan”.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak perlu direvisi agar terminologinya berpihak kepada penyandang disabilitas dan autisme. Mereka memiliki karakter tersendiri yang butuh strategi tertentu dalam menanganinya.

 Baca Juga: Digelar di Dua Pameran Sekaligus, Intip Inovasi 'Gelis' alias Gerobak Listrik bagi Para Pelaku UMKM

Pentingnya Kolaborasi dan Perubahan Struktural

Ki Hadjar Dewantara, mengutarakan tiga arena penting dalam pendidikan anak yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat. Perlu ada kolaborasi dan keberpihakan dari ketiganya dalam menyikapi isu pendidikan terkait kaum disabilitas tersebut.

Perhatian ekstra, penuh kasih, dan menyeluruh perlu diberikan kepada mereka sebagaimana konsep “momong, among, ngemong” yang dicetuskan Bapak Pendidikan Indonesia tersebut.

“Kita juga bisa belajar dari Amerika Serikat lewat penerapan Individualized Education Program (IEP) yang melibatkan orang tua dalam program pendidikan khusus bagi anak-anak penyandang autisme,” tutur Andini dan Anggi.

Baca Juga: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat Gelar Tes Cepat Covid-19 Di 54 Titik Tempat Wisata

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dapat memiliki direktorat yang secara khusus menangani masalah ini. Kebijakan yang lebih berpihak pada penyandang disabilitas perlu didukung semua pihak.

Meskipun telah ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 Tahun 2009, aturan tersebut perlu diturunkan hingga tataran teknis. Hal ini untuk memudahkan penyelenggara pendidikan dalam merealisasikan aturan tersebut.

Setelah menjalin kerja sama dari berbagai pihak, pemerintah perlu memberi perhatian kepada tenaga profesional baik psikolog maupun terapis yang menjadi garda terdepan dalam menangani penyandang disabilitas. Dukungan moral dan materil amat dibutuhkan mereka.

Baca Juga: Microsoft Deteksi dan Hentikan Serangan Siber Konferensi Munich

Kampanye di media massa dan sosial perlu digalakkan. Kampanye tersebut bisa untuk membangun kesadaran terhadap isu ini.

“Langkah-langkah di atas akan sangat membantu anak-anak penyandang autisme dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya beserta keluarga, terutama pada masa pandemi seperti sekarang ini,” ujar Andini dan Anggi.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x