Peringati Hari Santri Nasional, Ketua PWNU Jabar Singgung 4 Kriteria Pendidikan Nabi Ibrahim

22 Oktober 2020, 21:17 WIB
PWNU Jabar Gelar peringatan Hari Santri Nasional 2020 bertajuk Refleksi Peran Pesantren dan Istighosah Kubro pada 22 Oktober 2020.* /NU Online Jabar/ /

PR INDRAMAYU – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat (PWNU Jabar) menyelenggarakan peringatan Hari Santri Nasional 2020 bertajuk Refleksi Peran Pesantren dan Istighotsah Kubro.

Acara itu dilaksanakan pada Kamis, 22 Oktober 2020, di Aula Kantor PWNU Jabar di Jalan Terusan Galunggung No. 9, Kota Bandung.

Ketua PWNU Jabar, Hasan Nuri Hidayatullah, menyinggung tentang pesantren yang masih dianggap ketinggalan zaman oleh sebagian kalangan. Padahal pesantren telah berhasil membuktikan perannya di setiap zaman.

Baca Juga: Gelar Pertemuan Jajaran Kampus Polman, Ridwan Kamil Berharap Bisa Menyokong Segitiga Emas Rebana

“Pondok pesantren secara lahir sering disebut ketinggalan zaman, tapi sebenarnya pendidikan pesantren adalah pendidikan dalam istilah orang Timur Tengah, ibnu zamanih, peka dengan zamannya. Pesantren bisa diterapkan kapan saja,” ujar Hasan dikutip PikiranRakyat-Indramayu.com dari laman resmi PWNU Jabar, NU Online Jabar.

Teori tentang pendidikan pesantren, menurut penuturan guru-gurunya, adalah berasal dari Nabi Ibrahim ribuan tahun silam. Peristiwa yang diabadikan dalam Alquran tersebut menyiratkan bahwa teori pendidikan pesantren telah ada sejak lama.

Menurut pria yang kerap disapa Gus Hasan ini nabi yang sukses dalam mencetak generasinya adalah Nabi Ibrahim. Nabi Muhammad adalah salah satu keturunan yang diturunkan istrinya, Siti Hajar.

Baca Juga: Pilkada di Kala Pandemi? Simak Tips Berikut Agar Aman dalam Mengikutinya

Salah satu istrinya, Siti Syarah, ia memiliki anak yaitu Nabi Ishaq. Dari Nabi Ishaq, turunlah Nabi Ya’qub. Nabi dari kalangan Bani Israil tersebut memiliki salah keturunan yang menjadi nabi pula yakni Nabi Yusuf.

“Dari Siti Hajar, Nabi Ibrahim punya keturunan Nabi Ismail. Nabi Ismail memang tidak langsung melahirkan nabi, tapi komunitas suku, namanya Zurhum. Bani Zurhum melahirkan Bani Araq.

"Bani Araq melahirkan Bani Quraisy. Bani Quraisy melahirkan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Bani Hasyim dan Bani Muthalib melahirkan sayyidul anbiya wal mursalin, junjungan kita, Nabi Besar Muhammad,” ujar Hasan.

Baca Juga: Rayakan Hari Jadi yang ke-40, Fiat Panda Hadirkan Pembaharuan Model yang Ciamik

Terdapat aspek pendidikan yang bisa diambil sebagai pelajaran dari suksesnya keturunan Nabi Ibrahim tersebut. Konsep yang diabadikan tersebut berbunyi, rabbanā wab'aṡ fīhim rasụlam min-hum yatlụ 'alaihim āyātika wa yu'allimuhumul-kitāba wal-ḥikmata wa yuzakkīhim, innaka antal-'azīzul-ḥakīm.

Cuplikan ayat di atas dinilai Hasan memiliki 4 kriteria pendidikan Nabi Ibrahim yang telah dipraktekkan pondok pesantren.

Pertama adalah kebersihan hati dan jiwa para pendidik. Dengan bersihnya hati dan jiwa, para pendidik akan dapat diterima oleh muridnya dengan hati dan jiwa yang bersih pula. Hasilnya, ilmu dari pendidik menjadi mudah dipahami murid.

Baca Juga: Satu Tahun Kepemimpinan Jokowi-Amin, Berikut Sederetan Kinerja Bidang Polhukam Kata Mahfud MD

“Untuk membersihkan hati dan jiwa seseorang adalah dengan membaca kitab Allah. Ini yang pertama dan itu adanya di pesantren,” ujar Hasan

Kedua, konsep pendidikan mengajarkan kitab Allah. Perlu pemahaman dan pengaplikasian dalam membaca kitab Allah, tidak hanya mengenal huruf, membaca berlembar-lembar, dan sebagainya.

Ketiga, pendidik mengajarkan hikmah. Salah satu hikmah yang diajarkan di pesantren adalah al-qaul al-baligh (perkataan yang tidak menyakiti). Hikmah penting untuk diajarkan agar pembelajaran di pesantren mudah diterima santri.

Baca Juga: Peringati Hari Santri Nasional, Ma'ruf Amin Tilik Peran Penting Santri Turut Berjuang Lawan Penjajah

“Islam mudah diterima karena disampaikan dengan hikmah. Bukan dakwah kalau menyakiti seseorang,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Asshidiqiyah 3 Cilamaya, Karawang, tersebut.  

Keempat, sosok pendidik mengajarkan kebersihan jiwa. Di antara ciri orang yang berjiwa bersih adalah senantiasa rendah hati.

“Ilmu tidak akan suka pada orang sombong. Ilmu itu seperti air yang selalu mencari tempat rendah. Untuk menghilangkan kesombongan, caranya adalah dengan berkhidmah kepada guru atau kiai,” ujar Hasan.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: NU Online

Tags

Terkini

Terpopuler