Sejak tragedi pembantai Lapangan Tiananmen 1989, Uni Eropa telah berusaha untuk menghindari konfrontasi dengan Beijing. Namun, sanksi pada hari Senin, 22 Maret 2021 tersebut merupakan tindakan signifikan pertama yang dilakukan.
Lebih lanjut, Brussels menargetkan dua peretas komputer dan sebuah perusahaan teknologi pada tahun 2020 sebagai bagian dari sanksi dunia maya terhadap pejabat China yang lebih luas.
Baca Juga: Jelang Persib Bandung vs Bali United, Robert Alberts Ungkap Kondisi Anak Asuhnya
Tindakan tersebut mendapat pujian dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony John Blinken.
“Tanggapan transatlantik yang bersatu mengirimkan sinyal yang kuat kepada mereka yang melanggar atau menyalahgunakan hak asasi manusia internasional,” katanya.
Sanksi yang diberikan Uni Eropa tersebut menandai tekanan terhadap China, yang selama ini dianggap sebagai negara dengan mitra dagang yang ramah tetapi telah berubah menjadi negara dengan pelanggar hak, dan kebebasan yang sistematis.
Sementara itu, negara Inggris sebelumnya juga telah berulang kali mengecam penyiksaan, kerja paksa, dan sterilisasi yang diketahui terjadi pada "skala industri" di Xinjiang, dan mengulangi kritiknya terhadap Beijing pada Senin lalu.
Setelah sanksi yang diberikan kepada negaranya, China tak menerima begitu saja, negara tersebut dengan cepat melakukan pembalasan langsung dengan memberikan sanksi terhadap anggota parlemen Eropa.
Termasuk juga badan pembuat keputusan kebijakan luar negeri utama UE yang dikenal sebagai Komite Politik dan Keamanan, dan dua lembaga.