Triwulan ke III 2020 Ekonomi Indonesia Belum Bisa Tumbuh, Bahkan Bisa Lebih Rendah dari Perkiraan

- 16 September 2020, 13:34 WIB
Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. /


PR INDRAMAYU - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa ekonomi pada triwulan III-2020 belum bisa tumbuh positif, bahkan bisa tumbuh lebih rendah dari perkiraan pada kisaran minus dua persen hingga nol persen.

"Mungkin lower end dari minus 2,1 persen atau lebih rendah, itu perkiraan terbaru berdasarkan assessment pergerakan dalam dua minggu. Kita berharap tidak terlalu jauh," ujar Sri Mulyani, Selasa 15 September 2020.

Mantan bos World Bank itu mengatakan, salah satu potensi turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut, dikarenakan dimulainya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta yang saat ini menyumbang 17 persen PDB nasional.

Baca Juga: Kisruh Sistem Pertamina Hingga Membuat Geram, Ahok: Direksi Pertamina Otaknya Pinjem Duit Terus

Untuk itu, ia mengharapkan kebijakan pusat dan daerah yang makin baik dalam menangani Covid-19 bisa memberikan harapan terhadap pemulihan ekonomi, terutama pada triwulan IV-2020 yang diperkirakan mencapai 0,4% -3,1%.

"Semua proyeksi ini tergantung dari bagaimana mengelola dan mencegah kenaikan kasus Covid. Saya berharap hubungan pusat daerah yang makin baik, ada delapan provinsi yang bisa dikendalikan Covid-nya, bisa ikut memengaruhi ekonomi triwulan empat," ujar Sri.

Dengan perkiraan tersebut, Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada keseluruhan tahun bisa berada pada kisaran minus 1,1 persen-0,2 persen yang didukung oleh belanja maupun stimulus penanganan dampak Covid-19.

Baca Juga: Tantang Viral Kuatnya di Pilpres 2020 Buktikan Kecurigaanya, Trump: Biden Harus Ikut Tes Narkoba

Sementara itu, pada tahun 2020 merupakan tahun yang menantang bagi Indonesia. Sempat ditargetkan mencapai angka di atas lima persen hingga awal tahun ini, pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pandemi Covid-19 yang melanda pada awal Maret lalu.

Dalam acara virtual DBS Asian Insights Conference 2020 bertajuk Navigating a Brave New World belum lama ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan Covid-19 memiliki dampak berganda.

"Pandemi Covid-19 tidak hanya kondisi darurat kesehatan, tetapi juga ekonomi, dan bahkan ada beberapa negara yang telah memasuki kondisi darurat sosial serta politik," ujar Ridwan Kamil.

Baca Juga: Bisa Masuk Delik Pembunuhan Berencana dan Aksi Teroris, Mantan Ketua MK: Bila Perlu Pidana Mati

Dalam acara yang diinisiasi oleh PT Bank DBS Indonesia ini, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan bahwa Covid-19 memiliki risiko yang relatif tinggi dan harus segera dimitigasi. Ia menjelaskan bahwa Indonesia harus bersiap akan adanya tantangan yang lebih besar bagi perekonomian nasional

"Ini adalah kenormalan baru di tengah pandemi. Sehingga, meski besar tantangan yang dihadapi, perlu dipastikan bahwa Indonesia tidak terjerembab ke jurang krisis. Oleh karenanya, perlu penanganan yang tepat untuk memulihkan kembali ekonomi nasional," jelas Piter.

Kementerian Keuangan menerangkan bahwa perekonomian nasional akan ditentukan seluruhnya oleh pemulihan di kuartal ketiga (Q3) dan keempat (Q4). Pemerintah saat ini masih akan menggunakan skenario pertumbuhan ekonomi 2020 di level minus 0,4 hingga 2,3 persen.

Baca Juga: Masuk Zona Merah, Aktivitas Normal Bandara Soetta Dikhawatirkan Walikota Tanggerang

Agar terhindar dari krisis, pemerintah sudah menyiapkan beberapa strategi guna memulihkan perekonomian dan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian. Pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat berupa penundaan pemungutan pajak selama enam bulan bagi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, dan 25. Selain itu, relaksasi bea masuk ekspor untuk dunia industri juga diberikan keringanan.

Staf Khusus Kemenkeu Masyita Crystallin juga menuturkan bahwa pemerintah menggandeng bank sentral untuk mengatasi pemulihan ekonomi akibat pandemi.

"Yang kami lakukan bukanlah printing money atau helicopter money. Skema yang kami lakukan tetap sesuai pasar dan tetap jadi instrumen moneter. Ketika Bank Indonesia perlu, instrumen itu bisa langsung ditarik," pungkasnya.

Baca Juga: Selalu Cetak Gol, Erwin Ramdani Ingin Totalitas Disetiap Laga Persib Bandung

Dia melanjutkan, langkah yang dilakukan Kemenkeu untuk menghindari kontraksi ekonomi dan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ialah dengan menerbitkan sukuk global dengan yield yang baik.

"Prioritas utama pemerintah saat ini adalah barang publik berupa jaminan sosial dan kesehatan yang alokasinya mencapai Rp300 triliun," tuturnya.

Masyita setuju bahwa perlu memprioritaskan mitigasi kontraksi ekonomi agar dampaknya tidak besar di masyarakat. Maka, pemerintah terus mengalkulasi strategi anggaran untuk lebih fleksibel dalam menghadapi kontraksi. "APBN sendiri mengalami tekanan kiri dan kanan," ucap Masyita.

Baca Juga: Cegah Kasus Penikaman Ulama di Jawa Barat, Kapolda: Hubungi Kami, Kami Bantu Amankan

Meski dibandingkan negara lain defisit fiskal nasional cenderung sedang dan akses pasar internasional cukup baik, Indonesia tetap perlu mewaspadai tekanan APBN ke depannya. Sehingga, pemerintah melakukan pelebaran defisit tiga persen selama tiga tahun pada postur APBN 2020.

"Kenapa butuh tiga tahun? Jika kita berhenti pada periode recovery, akan muncul economic shock mendadak. Kalau sudah recovery tahun depan, masyarakat dan dunia usaha sudah siap pick up lagi," kata Masyita.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan terdapat dua cara yang dapat dilakukan. Adapun strategi pertama ialah tetap menyeimbangkan penyebaran investasi Pulau Jawa dan luar Jawa.

Baca Juga: Pelaku Penusukan Syekh Ali Jaber Ditetapkan Tersangka, Polisi Masih Dalami Motifnya

Ia melihat terdapat peluang besar terkait pemerataan investasi di Indonesia. "Enam tahun terakhir, baru kali ini realisasi investasi di luar jawa hampir berimbang dengan Jawa. Jawa kurang lebih sekitar 51,4% sementara luar Jawa sekitar 48,6%," ujarnya.

Bahlil mengatakan ini disebabkan oleh pembangunan infrastruktur di luar Jawa yang saat ini perlahan mulai mendukung iklim investasi. Ia mencontohkan Sulawesi Utara dan Maluku Utara, mampu menjadi lima besar provinsi yang menjadi tujuan investasi.

Selain itu, BKPM juga tak hanya melayani investasi besar, tapi juga investasi kecil di seluruh daerah. Hal terpenting yang menjadi fokus saat ini ialah realisasi investasi yang menghasilkan produk substitusi impor guna meningkatkan nilai tambah ekonomi.***

Editor: Egi Septiadi

Sumber: wartaekonomi.co.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x