Tadarus Puisi: Sajak Sebatang Lisong, Suara Pembelaan Rendra untuk Kemiskinan dan Keboodohan

- 26 Desember 2021, 16:55 WIB
Tadarus puisi WS Rendra.
Tadarus puisi WS Rendra. /Screenshoot Antaranews

INDRAMAYUHITS – Pada tahun 1977 WS Rendra membuat puisi berjudul Sajak Sebatang Lisong saat ia berada di kampus ITB.

Rendra terus menerus resah melihat realitas sosial ekonomi masyarakat pada saat itu.

Di satu sisi kemsikinan masih menggurita, di sisi lain banyak cukong atau orang kaya yang mengangkang mengambil untung dari kemiskinan dan kebodohan rakyat.

Baca Juga: Tadarus Puisi: WS Rendra Memotret Transisi lewat Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Ia juga sepertinya melihat teman-teman sesame penyair atau pembuat puisi lebih asyik menorehkan tentang keindahan semu, perempuan, bunga-bunga dan lainnya.

Ia sepertinya kesal, realitas masyarakat tidak mendapat tempat di dalam karya-karya mereka.

Padahal, butuh suara pembelaan rakyat untuk bisa melawan penyebab ketimpangan, meski melalui syair-syair dan puisi-puisi.

Baca Juga: Tadarus Puisi: Menampar Orde Baru dengan Kecoa Pembangunan

Berikut ini puisi WS Rendra berjudul Sajak Sebatang Lisong yang disajikan untuk minirubrik Tadarus Puisi:

Sajak Sebatang Lisong (WS Rendra/1977)

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Baca Juga: Tadarus Puisi: Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan Juni dan Yang Fana Adalah Waktu

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………

Baca Juga: Tadarus Puisi: Sajak Kecil Tentang Cinta dan Aku Ingin Karya Sapardi Djoko Damono.

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Baca Juga: Tadarus Puisi: Dialog Bukit Kemboja, Zawawi Imron Berebut Ziarah di Makam Sang Pahlawan

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………

Baca Juga: Tadarus Puisi: Istriku, Karya Gus Mus yang Simpel dan Unik

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan. ***

Editor: Kalil Sadewo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah