Algoritmanya Memperburuk Pengungsi Rohingya, Facebook Digugat Rp2.162 Triliun

7 Desember 2021, 14:36 WIB
Pengungsi Rohingya menggugat Facebook. /Antara Foto/Rahmad.

INDRAMAYUHITS – Sistem algoritma Facebook, ternyata dianggap tidak menguntungkan nasib pengungsi Rohingya. Sebaliknya, sistem yang general digunakan di berbagai platform digital itu justru merugikan mereka.

Pengungsi Rohingya merasa terpojokkan baik secara sosial maupun politik akibat sistem yang dapat dikendalikan secara masif dan serius oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperburuk citra mereka.

Dilansir Indramayu Hits dari Aljazeera melalui pikiran-rakyat.com, perwakilan pengungsi Rohingya telah resmi menggugat raksasa media social tersebut. Facebook digugat senilai 150 miliar dollar Amerika atau sama dengan Rp2.162 triliun.

Argumentasi yang mereka pakai adalah kegagalan Facebook membendung ujaran kebencian di platform-nya. Dampaknya sangat besar bagi mereka, karena membuat pengungsi Rohingya rentan menjadi saran kekerasan.

Pengajuan kelompok minoritas Myanmar itu didaftarkan di Pengadilan California. Isi pokok pengaduan pengungsi Myanmar tersebut mengungkapkan bahwa, sejauh ini algoritma bekerja menggerakkan Facebook untuk mempromosikan disinformasi dan pemikiran ekstremis.

Selanjutnya, oleh perwakilan pengungsi Rohingya, dua hal itu dianggap dapat secara nyata diterjemahkan menjadi tindakan kekerasan.

“ Facebook seperti robot yang diprogram dengan misi tunggal: untuk tumbuh," demikian pernyataan dari dokumen pengadilan tersebut.

Pihak pelapor mengonfirmasi, tak bisa dibantah bahwa pertumbuhan Facebook dipicu oleh kebencian, perpecahan, dan kesalahan informasi. Semua itu telah menyebabkan ratusan ribu nyawa warga Rohingya melayang.

Dinyatakan, sejuah ini sebagai kelompok minoritas penganut Islam, para pengungsi Rohingya telah menghadapi berbagai jenis diskriminasi. Bahkan, semakin hari ekskalasinya semakin meluas.

Mereka dituduh secara sembarangan oleh anti Rohingya sebagai pihak yang hina. Dianggap menjadi kelompok penyelundup, padahal selama beberapa generasi mereka telah menetap dan hidup di Kawasan tersebut.

Argumentasi hukum pihak pengadu juga menyebutkan, selama ini kampanye yang di belakangnya ada faksi militer Myanmar, telah digambarkan PBB sebagai tindakan genosida. Langkah itu, telah memaksa ratusan ribu warga Rohingya untuk keluar dan memasuki batas Bangladesh di tahun 2017.

Dan, dalam waktu lama sejak 2017 hingga saat ini para pengungsi Rohingya telah tinggal di kamp-kamp yang luas.

Sedangkan bagi mereka yang tetap memilih tinggal di Rohingya, tidak ikut arus pengungsi, tidak bisa mendapatkan izin kewarganegaraan. Berdasarkan data mereka, warga Rohingya telah menjadi sasaran kekerasan komunal dan tindakan diskriminasi yang terstruktur oleh militer yang kini berkuasa setelah penggulingan pemimpin yang sah di bulan Februari 2021 lalu. ***

Editor: Kalil Sadewo

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler