"Hambatan dan tantangan kita adalah stigma dan diskriminasi. Kalau misalnya orang sudah menyadari, punya awareness kalau dia harus datang ke praktisi kesehatan mental, tapi ketika ada stigma kemudian diskriminasi, dia akan berpikir ulang untuk pergi konsultasi (takut disebut gila)," kata Dian.
Dian melanjutkan, bahwa Bisa juga (edukasi) dilakukan di suatu kegiatan yang digelar di posyandu, posbindu.
Sebab menurutnya sulit jika tidak ada peran dari semua stakeholder untuk menyuarakan edukasi kesehatan mental.
"Kita enggak bisa jalan sendirian. Misalnya psikiater ada di RS tipe A, bagaimana agar edukasi sampai ke keluarga? Berarti ada kewajiban dari fasilitas kesehatan mulai dari tersier, sekunder, sampai primer, nyambung terus sampai ke bawah," jelas Dian.
"Harapan saya, keluarga-keluarga bisa lebih memahami bahwa peran psikiater maupun psikolog ini harus bisa difungsikan. Jadi (pasien) enggak perlu malu lagi, enggak perlu takut dibilang gila," pungkasnya.
Ini sangat tepat, bagaimana pun juga peran terpenting dari kehidupan adalah keluarga.
Ketika salah satu dari anggotanya membutuhkan peran psikiater, peran Keluarga, harus saling suport agar membawanya ke terapi pertolongan mental.
Jadi, momen 10 Oktober sebagai hari kesehatan mental seluruh dunia, harus diupayakan untuk saling mengedukasi betapa pentingnya peran psikiater terhadap pemulihan kesehatan jiwa dari setiap orang yang membutuhkan.***