Tari Sintren Indramayu, Kental Hal Mistis dan Penari Tidak Sadar

23 November 2019, 06:29 WIB
Tarian Sintren.*/ISTIMEWA /

INDRAMAYU, (PR).- Kebudayaan di berbagai daerah pastinya mempunyai macam-macam arti dan tujuan tersendiri. Di Indramayu pun demikian, sebagian besar masyarakat Indramayu pasti tidak asing dengan budaya Sintren. Sayangnya, sekarang budaya ini mulai susah ditemui karena termakan zaman. Sintren adalah kesenian tradisional masyarakat Jawa.

Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, dan Indramayu. Sebutan lain dari Sintren adalah Lair.

Dahulu kesenian sintren digelar di tempat yang luas, biasanya hanya beralaskan karpet. Tidak ada batasan antara penonton dan pemain, hal ini yang menggambarkan kesenian ini benar-benar merakyat.

Keseruan Berwisata di Kebun Agrimania Indramayu, Bisa Ajak Anak Memetik Mangga

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi lenggak-lenggok penari Sintren pun sangat sederhana, hanya terdiri dari gendang, bambu besar dan kendi yang keduanya dipukul lubangnya menggunakan karet dari sandal agar muncul bunyi, ditambah dengan kemeriahan suara kecrek.

Seorang penari Sintren akan duduk dan disuguhkan seperangkat pakaian sintren lengkap dengan kacamata hitam, tak lupa kondisi kedua tangan diikat ke belakang dengan sapu tangan.

Syarat wajib bagi penari Sintren adalah, seorang perempuan yang masih perawan. Mitosnya jika hal ini dilanggar sang penari akan gila. Setelah didudukkan penari akan dikurung menggunakan kurungan ayam yang ditutupi kain untuk beberapa saat. Lalu, tembang yang dipercaya sebagai mantra akan dilengkingkan.

Jika sudah ada gerakan dari penari ini menunjukkan bidadari telah merasuki sang penari, dibuktikan dengan pakaian penari yang awalnya masih mengenakan baju biasa berubah menjadi pakaian Sintren. Budaya Sintren memang dikenal dengan kemistisannya, penari Sintren menari dengan keadaan tidak sadar.

Ketika penari Sintren sudah mulai meliangliukkan tubuhnya, diteruskan dengan acara “balangan”. Maksud dari balangan adalah melempar kain yang dibagian sampingnya digunakan untuk menyimpan uang.

Setelah terkena balangan penari akan terjatuh dan ditangkap sang dayang. Penari Sintren dapat dibangunkan kembali oleh sang dayang, kemudian menari seperti semula.

Filosofi dari budaya Sintren adalah tarian ini merupakan ekspresi bentuk kebebasan dan menolak adanya batasan-batasan. Tetapi, tidak berani diucapkan secara lantang dan terang-terangan karena ketakutan dengan penguasa.

Ketika zaman penjajahan dahulu Sintren digunakan untuk perjuangan melawan kolonial melalui syair-syairnya yang dapat didengarkan oleh pemuda-pemuda yang mengelilinginya. Dengan menggunakan kedok wanita sebagai penari, hal ini dilakukan untuk melengahkan perhatian kolonial.

Karena kala itu kolonial sering mabuk-mabukan diiringi dengan penari tayub. Sangat rugi jika nantinya budaya Sintren ini mulai lenyap dan digantikan oleh budaya-budaya modern.*** (Alvin Aditya/JT)

Editor: Abdul Muhaemin

Tags

Terkini

Terpopuler